Catatan Kaki Yang Terlewat

Sun, 02 Mar 2025

Dakwah kita perlu catatan kaki. Catatan kaki pertama, dakwah itu diselenggarakan terutama untuk memproses perubahan. Perubahan menuju kondisi shallh dari kondisi yang tidak atau belum shalih. Pertanyaannya, apakah frekuensi dakwah tidak berbanding terbalik dengan kondisi keshalihan kita semua? Bukankah semakin "kosong" semakin diperlukan pengisian? Sehingga, peningkatan kapasitas pengisian justru menunjukkan tingkat kekosongan? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak bermaksud menuduh, tetapi sekadar mengajak berhati-hati dan menyadari selalu perlunya islah (mawas) diri. Kedua, umat Islam tampaknya belum pernah sungguh-sungguh meneliti hal-hal yang bersangkutan dengan realitas dakwah. Kalau dalam sebulan di sebuah kampung diselenggarakan empat kali pengajian, kita jarang mengamati, seberapa jauh output-nya, produk sosialnya, peningkatan keshalihannya, dan seterusnya. Kalau Ustaz tertentu telah bertemu ribuan kali dengan jutaan Muslimin selama sekian tahun, apa saja yang berubah? Apakah kondisi tauhid umat meningkat? Akhlak mereka membaik? Kemunafikan menurun? Kepatuhan kepada Allah meninggi? Korupsi dan penyelewengan sosial merendah derajatnya? Dan, lain sebagainya. Kalau Anda bertanya kepada panitia-panitia acara dakwah atau membaca proposal-proposal acara keislaman, biasanya prinsip rutin yang dikemukakan adalah "Meningkatnya iman dan takwa" dan seterusnya. Tentu saja itu sangat mulia. Namun, apakah bersamaan dengan itu kita pernah meneliti seberapa iman dan takwa kita meningkat, mandeg, atau justru mundur? Apakah kita memiliki metode atau tolok ukur untuk penelitian rutin macam itu? Sementara apabila proposal-proposal pengajian itu berasal dari kepanitiaan "intelektual" biasanya penuh bertabur kata-kata canggih yang mengeksposisi jargon-jargon "Kebangkitan Islam", "Islam dan Globalisasi", dan seterusnya. Pada saat yang sama, di komunitas tersebut tidak tersedia kesanggupan untuk sungguh-sungguh mengantisipasi tema-tema besar yang mereka tuangkan. Topik-topik itu dibabarkan tanpa kesadaran ruang dan waktu. Artinya, tidak jelas pada level mana mereka memikirkan dan sampai batas mana mereka laksanakan. Akhirnya, tema-tema muluk itu berperan hanya sebagai aksesori atau ekspresi inferioritas umat Islam. Kalau tidak ikut ngomong soal globalisasi nanti takut dianggap ketinggalan zaman. Kita berbicara luas, merangkum bumi dan langit, seakan-akan kita memiliki kaki dan tangan raksasa yang sanggup mengubah dunia dalam waktu dua minggu. Padahal untuk melakukan perombakan struktur kepengurusan masjid saja kita terseok-seok, terbentur feodalisme, egoisme kelompok, atau eksklusivisme antar-generasi. Kita semua sepertinya gelisah.


Tinggalkan pesan mu disini 💌 troy.akbar@gmail.com


Newer     Older